Jumat, 30 Desember 2011

Haji Mabrur

Di saat di Padang Arafah, Abu Bakar pernah ditanya oleh seorang sahabat: “apakah itu haji mabrur wahai Abu Bakar?”.
“Engkau akan melihat apakah haji kamu mabrur atau tidak di Madinah nanti” jawabnya singkat.
Haji mabrur memang menjadi impian setiap pelaku ibadah haji. Dalam titahnya, Rasulullah SAW menjelaskan: “dan haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga”.
Untuk mendapatkan janji inilah, setiap Muslim akan melakukan berbagai upaya dan pengerbonan agar dapat menunaikan ibadah haji dan sekaligus melakukan berbagai ibadah yang dapat menjadikan hajinya mabrur (baik) atau maqbul (diterima).
Sayang, pemahaman tentang makna haji mabrur itu seringkali dibatasi oleh dinding-dinding ritual yang ketat. Dalam memahami mabrur atau tidaknya haji seseorang tidak atau jarang melihat jauh di balik dari praktek-praktek ritual yang terkait dengan haji. Perhatian sepenunya terkadang hanya pada sebatas apakah rukun-rukun, wajib maupun sunnah-sunnah haji terpenuhi secara baik.
Pertanyaannya, itukah semua tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan ibadah haji? Apakah ibadah haji sekedar dimaksudkan untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya? Atau barangkali sekedar dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu?
Jawabannya pasti tidak. Ibadah dalam Islam tidak maksudkan justeru untuk membangun “egoisme” pribadi, walau itu atas nama penyembahan. Ruku’ dan sujud seorang hamba seharusnya tidak dibangun di atas kepuasan pribadi atau keinginan untuk merasakan ketenangan dan kebahagiaan individu saja, walau itu atas justifikasi akhirat.
Inilah rahasia dari ungkapan Abu Bakar kepada seorang sahabat bahwa hajinya akan diketahui mabrur atau tidak di saat telah kembali ke Madinah (kampung halamannya). Bahwa di saat kembali berada di tengah-tengah kehidupan kesehariannya, terjadi perubahan yang positif. Imannya menjadi semakin “tajam” sehingga mampu menembus kuatnya batas-batas wujud material ini. Ibadahnya semakin “dalam” (ikhlas) dan bertambah. Apalagi, kelakuan sosialnya akan semakin tumbuh secara positif, menjadikan semua di sekitarnya merasai aman dan tenteram karena sang haji.
Haji Sosial
Berdoman kepada cerita si tukang sepatu maupun jawaban Abu Bakar R.A. di atas jelas bahwa haji adalah amalan ibadah dalam Islam yang memiliki konsekwensi sosial yang tinggi. Betapa tidak, panggilan berhaji dalam Islam itu sendiri dikumandangkan dalam bentuk panggilan “kemanusiaan”: Dan kumandangkanlah kepada manusia (wahai Ibrahim) untuk datang berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu (untuk berhaji) dengan berjalan kaki dan mengendarai onta-onta yang jinak. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh (Al Qur’an).
Ketika Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berhaji dalam Al Qur’an, juga dipakai panggilan “kemanusiaan”: Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji kepada Baitullah, bagi siapa yang mampu (Al Qur’an).
Kedua hal dia atas menunjukkan ikatan sosial kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah haji itu. Dan kenyataannya memang demikian. Di saat musim haji, mereka yang datang ke tempat-tempat suci itu hanya dipandang dengan satu pandangan, yaitu “pandangan kemanusiaan”. Mereka tidak lagi dipandang dalam ikatan-ikatan sosial dan keduniaan lainnya. Hanya satu kriteria yang membedakan di antara mereka, kriteria ketakwaan yang tidak ditentukan oleh afiliasi sosial manusia.
Kesadaran nilai sosial dalam haji ini seharusnya ditumbuh suburkan di saat menusia diterkam oleh gaya hidup egoistik dunia modern. Dinding-dinding pembatas sosial begitu kuat menjadikan manusia kehilangan koneksi batin. Dinding-dinding itu menjadikan manusia saling menilai, bukan lagi dengan penilaian kemanusiaannya, tapi lebih dekat kepada penilaian hewaninya. Manusia saling berbangga dengan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, dan tentunya tingkatan perekonomiannya. Seolah semua inilah yang menentukan harga diri (dignity) seorang anak insan.
Kemampuan menembus dinding-dinding pembatas sosial menjadi sebab tumbuhnya rasa solidaritas yang tinggi. Kesenangan atau penderitaan sesama di sekitarnya akan mudah terlacak karena ada rasa kemanusiaan yang tinggi. Ada sensitivitas yang tajam untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Terbangun kesadaran sosial yang tinggi sebagai akibat dari sensitivitas tadi. Perbedaan sosial atau status ekonomi tidak menjadi penghalang untuk merasakan apa yang terjadi di sekitarnya.
Disebutkan dalam sejarah bahwa suatu ketika Umar bin Khattab pernah berangkat ke Jum’atan sambil memegang perutnya. Ketika ditanya oleh seorang sahabat, apa gerangan yang terjadi? Umar menjawab: “Demi Allah saya lapar dan tidak akan merasakan kenyang selama anak-anak yatim dan kaum miskin masih merasakan kelaparan”.
Beliaulah yang pernah bertanya kepada seorang sahabtnya: “Apakah engkau tidur dengan baik semalam?”. Sahabat menjawab: “Iya Umar, saya tidur dengan nyenyak”. Umar memberitahu: “Demi Allah, saya tidak nyenyak tidur dalam 3 malam ini karena khawatir akan dimintai pertanggung jawaban oleh para janda, anak yatim dan kaum miskin pada hari kiamat nanti”.
Di suatu malam beliau ke luar dari rumahnya untuk melakukan pengecekan langsung situasi kota Madinah. Dari kejauhan beliau melihat api yang menyala. Ketika mendekat didapatilah seorang ibu yang nampaknya sedang memasak. Umar bertanya: “Apa yang anda sedang masak dan kenapa memasak di pertangahan malam?” Sang ibu menjawab: “Sungguh saya memasak batu-batuan untuk menghibur anak-anakku yang kelaparan. Mudah-mudahan dengan melihat nyala api ini mereka tertidur sambil menunggu makanan ini siap untuk dihidangkan”.
Sang ibu itu melanjutkan: “Saya hanyalah seorang janda yang punya banyak anak. Umar sebagai pemimpin tidak bertanggung jawab membiarkan kami kelaparan seperti ini” sambil terus menerus menuduh Umar tidak bertanggung jawab tanpa menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Umar sendiri.
Tanpa berbicara sepatah kata, airmata Umar mengalir membasahi pipi dan janggut beliau mendengarkan pengaduan ibu itu. Beliau kemudian meninggalkan ibu itu dan kembali ke Madinah malam itu juga langsung menuju baitul mal (gudang penyimpangan bahan-bahan bantuan). Diambilnya sekarung gandum dan beberapa potong lauk (syahm) dan dipikulnya sendiri kembali menuju tempat ibu tadi. Di tengah jalan beliau berpapasan dengan seorang sahabat. Sahabat terkejut melihat Umar memikul sekarung gandum. Beliau menawarkan diri untuk membawakan karung tersebut. Tawaran itu ditolak olehnya seraya berkata: “Akankah engkau mengambil alih tanggung jawabku di hadapan Allah kelak?”.
Sungguh contoh solidaritas sosial yang agung dari sahabat dan pemimpin agung. Bahwa accountability (pertanggung jawaban) bukan sekedar duniawi sifatnya, tapi yang lebih penting adalah pertanggung jawaban di Akhirat kelak.
Bukankah masanya, di saat jutaan manusia menjerit dalam genggaman kerisauan ekonomi, tiada pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang melonjak, manusia seharusnya tersadarkan akan urgensi haji sosial. Di saat saudara-saudara sebangsa dan seiman hidup dan menghidupi keluarganya di bawah kolon-kolon jembatan itu, di saat-saat para ayah bercucuran keringat tanpa pernah mencukupi kebutuhan keluarganya, di saat ribuan anak-anak potensi bangsa harus kehilangan kesempatan belajar karena biaya pendidikan yang tinggi, kita tersadarkan oleh hajinya sang tukang sepatu. Haji yang terbangun di atas fondasi kesadaran sosial yang tinggi dan bukannya haji yang semakin membawa kepada prilaku egoistik atas nama Tuhan dan ridhaNya. Wallahu a’lam!
(Syamsi Ali, penulis rubrik “Kabar Dari New York” di www.hidayatullah.com. Tulisan ini sudah dimuat di www.innchannels.com)

Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel

Pada era Rasulullah salah seorang sahabat pernah bertanya mengenai penaklukan kota Konstatinopel.

Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]

Sekitar delapan abad kemudian, salah satu bisyaroh nubuwah tersebut mampu diwujudkan oleh seorang hamba Allah yang bernama Muhammad Al Fatih atau Mehmed II, yang merupakan seorang Sultan ke-7 dari Kesultanan Turki Ustmani beserta sekitar 250.000 orang tenteranya. Keberhasilannya menaklukkan Konstatinopel membuatnya diberi gelar Al-Fatih. Berasal dari kata: fataha – yaftahu. Artinya membuka atau membebaskan. Sultan Muhammad Al Fatih menaiki takhta ketika berusia 19 tahun dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481)

Kota konstatinopel atau disebut juga Byzantium (kini disebut Istanbul) adalah kota yang memiliki pesona yang kuat pada masa itu. Letaknya sangat strategis, yaitu di batas antara Eropa dan Asia. Bagian daratnya merupakan salah satu bagian dari Jalur Sutera, sedangkan di bagian lautnya, daerah ini berada di antara Laut Tengah dengan Laut Hitam. Pesonanya ini membuat banyak bangsa pada masa itu mengincarnya. Banyak ekspedisi-ekspedisi yang telah dilakukan, namun benteng Konstatinopel tetap tidak tertembus. 

Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan benteng terkuat di dunia saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, Laut Marmarah dan Tanduk Emas yang dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan untuk masuknya kapal musuh ke dalamnya. Di samping itu, dari daratan juga dijaga dengan pagar-pagar sangat kokoh yang terbentang dari laut Marmarah sampai Tanduk Emas. Memiliki benteng setinggi 60 kaki, sedangkan pagar bagian luarnya memiliki ketinggian 25 kaki. Selain itu juga terdapat tower-tower pemantau yang terpencar dan dipenuhi tentara pengawas. Dari segi kekuatan militer, kota ini dianggap sebagai kota yang paling aman dan terlindungi, karena di dalamnya ada pagar-pagar pengaman, benteng-benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. Dengan demikian, maka sangat sulit untuk bisa diserang atau ditaklukkan. Kedudukan Konstantinopel yang strategis diillustrasikan oleh Napoleon Bonaparte;".....kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya!".

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Di zaman Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu 'Anhu pernah dilakukan ekspedisi namun gagal. Di masa shahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah seorang shahabat yang menjadi anggota pasukannya dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun lamanya.

Abu Ayyub Al-Anshari berkata,"Aku mendengar baginda Rasulullah SAW bersabda bahwa ada seorang lelaki shalih akan dikuburkan di bawah tembok tersebut, Dan aku juga ingin mendengar derap tapak kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja, yang mana dia akan memimpin sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda".

Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah, pemerintahan Abbasiyyah, dan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. 

Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi napas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sulthan Yildirim Bayazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinopel secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.

Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali. Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) meneruskan usaha penaklukan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi belum membuahkan hasil. Sultan Murad II mewariskan perjuangan penaklukan Konstatinopel kepada anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II).

Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa.

Sebelum menaklukkan Konstantinopel, ada khutbah yang disampaikan al Fatih untuk seluruh pasukannya :

“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”

Benteng kota Konstatinopel memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7 m. Dari sebelah barat melalui pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.

Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan celah tersebut dan dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang cemerlang muncul. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang. Alhasil, hanya dalam semalam, 70-an kapal bisa memasuki wilayah selat Golden Horn.

29 Mei, setelah sehari istirahat perang Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari. 

Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.

Ketika Konstantinopel telah jatuh ke tangan pasukan Islam, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen. Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.

Diceritakan bahwa tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan salat wajib sejak baligh dan separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan salat tahajjud sejak baligh. Hanya Sultan Muhammad Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan salat wajib, tahajud dan rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.

Suatu hari timbul soal ketika pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu.

“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” 

Tak ada jawaban. Tak ada yang berani yang menawarkan diri. lalu Muhammad Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri.

Kemudian beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!” 

Tak seorangpun pasukan islam yang duduk. Tentara islam pimpinan Muhammad Al Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari itu, tak pernah satu kali pun meninggalkan shalat fardhu. 

Lalu Muhammad Al Fatih kembali bertanya, “Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!”. 

Sebagian pasukan kemudian duduk, artinya, pasukan islam sejak remaja mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat-shalat rowatib. Namun ada yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh jujur, pasukan islam pimpinan Al Fatih.

Muhammad Al Fatih kembali bertanya: “Siapa diantara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!”

Semua yang tadinya berdiri segera duduk. Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. Siapakah dia? dialah, Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk benteng super power Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang pantas menjadi imam shalat jumat hari itu. Karena hanya Al Fatih seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada Allah SWT, tidak pernah kosong atau absen semalampun.

Sebagai sebuah wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinan, maka Al Fatih menyampaikan wasiat kepada anaknya:

“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir, karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin yang adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”

“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka. Cukupilah keperluan mereka.”

“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kita, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”

“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka tetaplah di jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam ini, menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara, berfoya-foya, dan menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu semua adalah sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”

Sumber: http://alekkurniawan.blogspot.com/2011/11/muhammad-ii-al-fatih.html

Haji Mabrur Dan Tukang Semir Sepatu

Kisah Penggali Kubur

Kamis, 30 Juni 2011

Keindahan Tak Terduga dari dalam Mata (Kawah-kawah yang sangat Indah)

Anugerah yang Kuasa benar-benar tak terhingga. Tak henti-hentinya keajaiban-NYA terungkap satu persatu. Berikut adalah salah satu keajaiban yang luar biasa.


Seorang guru dari Yerevan Armenia, Suren Manvelyan, berhasil memotret tampilan mikroskopis dari iris mata beberapa kenalannya dengan metode makro. Dan hasilnya adalah temuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ada mata yang mirip dengan kawah di planet Mars, ada pula yang mirip dengan sebuah kawah gunung berapi. (Foto: Your Beautiful Eyes)



















Cara Membuka Pengumuman hasil SNMPTN dengan Cepat dan Menjadi Mahasiswa Baru yang Sukses

Minggu, 08 Mei 2011

Bersembunyi Dibalik Identitas

Pagi ini seperti biasanya selalu ada kegiatan. Namun kali ini berbeda, kami harus melakukan suatu hal yang belum pernah kulakukan dan tidak terpikrkan bagaimana nantinya. Tak disangka, kesiangan. Salah satu kebiasaa n yang sulit dihilangkan. Berangkat dengan tergesa-gesa hingga lupa segalanya. Ditengah jalan ingat kebutuhan kresek yang harus dibawa. Mampirlah pada sebuah toko dan membelinya. Memang pada malamnya aku bimbang, ikut sebentar namun segera cabut karena ada acara lainnya yang menunggu disertai dengan keperluan pribadi.

Sampai ditempat briefing. Sepi. Hah, ternyata sama saja. Hehe.. 1 jam kemudian barulah briefing dimulai. Absen, bagi kelompok, bagi barang, cari helm. Mencarikan helm (Insya Allah berniat baik, namun disertai perasaan agak bingung). Beresss, Oke ayo berangkat!! haha..
Astaghfirullah, STNK ketinggalan,, hehe.. Maaf ya, ambil STNK dulu.. Sekalian kreseknya, kayak e tadi kurang. Oke meluncur ke lokasi.

Siipp, sampai lokasi, bagi kreseknya. Siipp beres. Sekarang bagi barang bawaannya. Teman-teman sedang asyik ngobrol, oke bergerak mendekat. "RW saya kemarin memenangkan kontes cinta lingkungan hidup dek". Wisshh, hebat pak. Dimana itu, boleh kami berkunjung? "Lho ya  monggo dek, kebetulan besok akan ada acara follow up". Wah, terima kasih pak. Kami lanjutkan pekerjaan kami dulu ya pak.

Lanjuuutt,, eh ada orang ngrokok, berani ngasih gak? ya nggak, ya nggak (seperti biasa bimbang). Tapi gak tau dapat kekuatan dari mana, dengan gaya seperti biasa agak cuek. Permisi mas kami dari 'ttiiiiiiittt' mengingat kemarin hari bumi, ini kami bagikan sesuatu semoga bisa bermanfaat (Padahal di sesuatu itu tertulis, JANGAN MEROKOK), semoga terbaca dan bisa insyaf, amin. "Trus mau apa? Bayar gak". O ndak kok mas, ambil saja, mungkin bisa digunakan, semoga bisa bermanfaat (Padahal dalam hati,"buat apa orang kayak gini diberi beginian, pasti gak dibaca dan dibuang, tapi demi menuruti keinginan teman, ya sudahlah, yang penting berusaha memberi contoh yang baik" Insya Allah sudah berniat baik).

Oke lanjutt., saatnya aksi kedua. Berangkaattt!!
X: "Permisi mas"
Y: "Ya, ada apa mbak?"
X: "Mas tau tempat untuk PKL ndak?"
Y: "Waduh, bisaya kan sekolahnya sendiri menyediakan rekomendasi dek."
X: "Iya mas, tapi ini kami jurusan baru, jadi belum ada, kami disuruh cari sendiri"
Y: "emm, dimana ya?? coba tanya ke kampus 'tiiiiitt' dek, siapa tahu nanti diberi informasi, atau mungkin dicarikan informasi oleh mahasiswanya, atau mungkin malah diterima PKL disitu" (agak ragu kebenarannya tapi apa salahnya mencari informasi dan mencobanya, Insya Allah berniat baik)
X: "O gitu ya mas, makasih ya mas" (Penuh harap)
Y: "Iya dek sama-sama" (Semoga sesuai dengan apa yang kuharapkan, semoga saja amin)
5 menit kemudian,, Astaghfirullah, lupa memberi tahu sekarang minggu, pasti disana sepi. Ya Allah, mohon maaf, aq lupa. Semoga tidak berangkat sekarang. Semoga harapanku tepat.

Ya sudahlah, hanya bisa mendoakan. Sekarang lanjutkan aksi. Oke muter-muter. Hmm ternyata, semua orang sama saja, sampah tetap saja berserakan. Jadi inget kata teman pada waktu siangnya "Padahal jarak anatar tempat sampah paling 5 meteran, tapi tetap saja sampah berserakan". Haha,, ya begitulah keadaannya kawan. Lha wong anak sekolahan dan anak kuliahan yang notabene berpendidikan saja melakukan hal yang sama, apalagi orang banyak ditempat seperti itu. Hehe,, sudah kenyang dengan hal begituan.

Fuuhh, sudah capek, istirahat yok. Oke aksi selesai,, absen. Kurang satu orang. Ya wis ayo menuju tempat semula, siapa tahu disana. Dalam perjalanan
A,B,C dst : hewes hewes hewes..
Y: "Ada apa se?"
A: "Itu lho, lihat"
Y: "Apa mas?"
A: "Itu lho, anak kecil"
Y: "Astaghfirullah, anak segitu sudah merokok"
A: "Hayo, berani negur gak?"
Y: "Waduuuhhh" (Seperti biasa, ragu walaupun untuk berbuat kebaikan, masih berpikir 2 kali, apakah ada komplotannya, terutama bos preman mereka, kalau ada bisa-bisa tamat aku, siapa yang mau bantu. Tidak sadar bahwa itu ditempat umum yang banyak orang, Astaghfirullah, dimana keberanianku) "Ayo mas, sama sampean"
A: "Lho itu kan tugas sampean"
Y: "Waduuuhh, ini ndak termasuk tugas hari ini mas" (Menghindar dengan alasan tidak jelas, Astaghfirullah, dimana keberanianku, hanya berani berkata-kata namun tak berani berbuat)
D: "Aku berani kok"
Y: (Hmm, benarkah aku mendengarnya)
E & F: "Oke, aku juga berani"
Y: (Hmm benarkah, aku belum yakin)

Sontak ku menoleh kebelakang. Wow, mereka benar-benar melakukannya. Aku malu akan diriku. Aku semakin berjalan menjauh. Aku menunjukkan wajah tak berdosa. Menunjukkan wajah cuekku. Akhirnya kembali merenung tenatang pikiran rencana tadi malam. Sepanjang jalan juga merenung seperti biasa, anadai waktu bisa diputar ulang. Juga berusaha melarikan diri mengahadi dunia.  (Tapi Alhamdulillah, Engkau memberiku kekuatan untuk mengahadapinya).

Namun, Astaghfirullah, inikah aku? Yang berapi-api ingin memberikan contoh dan teladan, tapi melakukan hal yang bisa dilakukan ketiga temanku saja tidak mampu. Mungkin bagi mereka itu hal kecil, tapi bagiku, itu lebih hebat dari yang mereka bayangkan. Kapan aku bisa mengalahkan diriku sendiri? Kapan aku mendapatkan keberanianku dan Motivasiku untuk mengiringi niat baikku? Bahkan aku tidak pantas menyandang identitas ini. Inikah aku, bersembunyi dibalik identitas ini. Sampai kapan aku seperti ini. Hanya karena tidak punya keberanian, hilang sudah semua motivasiku. Astaghfirullah, smoga esok lebih baik. Mohon petunjuk-Mu Ya Allah. Semoga semua keputusanku setelah ini adalah pilihan yang tepat. Amin.

Mungkin bagi siapapun yaang melihat post ini, bisakah anda menunjukkan letak kesalahanku di kejadian diatas?